Sepenggal Nurani
Manusia sering melawan
nurani hanya karena takut dijatuhkan dengan cara pandang orang lain, takut
dicundangi dan dihujat.
Presepsi tersebut terasa sangat dekat dengan manusia, hanya untuk
kesenangan orang lain manusia berusaha mengorbankan kesucian nurani,
mengotorinya dengan sengaja, mengikuti keinginan yang sebenarnya tidak
memberikan manfaat positif pada diri dan sosial.
Terkadang manusia melakukan itu hanya ingin dianggap berkelas dan
mengikuti tren suatu kelompok sosial, yang mana kelompok sosial
tersebut jikalau digali lebih mendalam bukanlah kelompok yang layak untuk di
ikuti.
Mungkinkah masih ada nurani yang jujur dalam kebenaran dan
kebaikan?
Masih banyak yang harus dipelajari dalam hidup ini, tentang nurani
yang tenang dan damai. Ia memberikan sumberdaya yang tak tertandingi oleh
tenaga ataupun teknologi tercanggih di zaman sekarang. Ia nyata ada didalam
dirimu. Ia hidup bersama mu dengan hembusan nafas yang selalu menemani kemana
langkah itu berpijak.
Diatas bumi ini nurani akan menuntun mu pada cinta yang hakiki,
cinta yang melakukan untuk semua tatanan, keseimbangan, kesepahaman, dan
keselarasan dalam hidup agar mencapai akhir dari perjalanan hidup yaitu
ketenangan.
Kita masih harus banyak belajar, belajar memberi pada sesama.
Mengasihi ialah cerminan nurani yang di asa dengan sendu, meramunya bagaikan
ruang telaga yang menghidupi banyak tumbuhan, hewan dan bahkan manusia.
Mengasihi bukan berarti kita lemah menjadi manusia, justru kita
kuat dan bernilai. Karena dari mengasihi kita belajar arti ketegasan dalam
hidup, sebuah prinsip. Bukan arti amarah yang bakal membakar semuanya bahkan
mengeringkan telaga.
Agar manusia tetap menjadi manusia yang bermanusia.
Tanah Andalas, Zulhaji Ismail.
Komentar
Posting Komentar