Sepatu Terisolasi

 






Ruang pengap, berhias kapas kecantikan habis pakai ramai berserakan di atas meja rias. Sepotong pan cake dan gelas susu bermandikan semut-semut kecil sisa semalam pun masih tergeletak seolah terbuang di bawah kursi. Benda-benda tercecer tak beraturan, jaket lama pun ikut bergelantung di belakang pintu. Sebelum dipasangkan headset pada sepasang telinga, gemuruh hujan yang bersautan di balik jendela menjadi nada paling riuh sore itu. Rasanya sungguh tak adil bagi Charlene, seorang volunter berkewaganegaraan Norwegia. Ini pekan ke enam ia tak menampakkan wajahnya di pelataran Basilea, apalagi sampai duduk dibangku-bangku peribadahan. Serupa juga dengan Corola hitam peninggalan ayahnya, yang sudah hampir enam pekan jarang melintas di jalanan Serpong –Kuningan. Ya, ini akibat dari sepatu kesayangannya yang sudah hampir enam pekan tak mau menemaninya keluar rumah. Kets abu-abu model klasik lengkap dengan talinya telah terbungkus rapi, Charlene selalu meletakkannya di atas rak sepatu yang berada si sudut lorong dekat pintu  samping.

Kring kring kring telepon kuno di mezzanine berdering begitu nyaring. Kring kring kring kali kedua benda kuno itu berdering, namun sayang tidak terdengar balasan suara. Nampaknya Charlene benar-benar asik dengan playlist bervolume tinggi yang ia setel, hingga sama sekali tak mendengar dering telepon. Atau bisa jadi memang ia sengaja tak menghiraukan suara telepon itu, lantaran merasa percuma jika pun ia angkat pasti yang terdengar hanyalah suara laki-laki tua yang terputus-putus berkat koneksi yang tidak bagus. Beberapa hari ini, sebenarnya ia sangat merindukan ayahnya, maklum sejak Natal tahun kemarin ayahnya sering memintanya untuk pulang. Namun sayang, ia sama sekali belum berkeinginan untuk pulang sebelum kedutaan memberi hadiah padanya pertanda ia telah bekerja dengan bagus di musim ini.

Pada putaran ke tiga belas, playlist yang didominasi musik jazz itu berhenti menggema di telinga. Satu pesan masuk dari Meghan, saudara tiri Charlene. Lucunya, sejak orang tua mereka menikah, mereka tak pernah akur, berada dalam satu rumah yang sama tapi tak pernah bisa berdamai, bak air dan minyak dalam ember yang sama tapi tak mungkin bisa bersatu. Di sekolah, persaingan prestasi mereka cukup sengit, kali ini Charlene dan Meghan sama-sama memperebutkan peringkat pertama dalam ujian kelulusan, meskipun jauh sebelum itu Charlene sudah dinyatakan resmi bergabung menjadi bagian dari salah satu kampus ternama di Norwegia.

“Pembohong besar, tak berguna!” kalimat Charlene tegas seolah ia tahu bahwa pesan dari Meghan hanyalah kail yang ditujukan untuknya agar ia pulang. Dua tahun yang lalu, ayahnya sempat masuk rumah sakit, paru-paru bagian kanannya mengalami penurunan fungsi sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Norwegia untuk mendapatkan perawatan intensif, disamping masa kerjanya yang sudah habis. Sore itu terasa senyap, Charlene tak tahu harus mempercayai pesan yang ditulis Meghan ataukah mengabaikan seperti yang sudah sudah.

“Ini menyangkut ayah, lagi? Apa yang sebenarnya mereka mau?” gumamnya setelah mencoba membaca ulang pesan itu.

Bagi Charlene, menjadi volenter cukup ia jadikan sebagai tempat pengembangan dirinya untuk belajar mengenai hubungan sekaligus perkembangan antar negara. Ia bercita-cita menjadi seorang diplomat handal, sama seperti ayahnya yang menapakkan karirnya di dunia diplomasi sejak usia muda. Disamping itu, ia bersi kukuh meninggalkan rumahnya karena ia tak sudi lagi tinggal bersama ibu beserta saudara tirinya. Ya, rupanya pada suatu malam ia tak sengaja mendengar percakapan Rebeca, ibu tirinya yang sedang berbincang begitu mesranya dengan seseorang melalui telepon di bawah tangga dekat kamarnya, dan jelas itu bukan ayahnya. Sejak saat itu Charlene bisa memastikan bahwa Rebeca tak benar-benar mencintai ayahnya.

“Ayah tak mungkin sakit lagi, apalagi sampai masuk rumah sakit, sungguh ini hal yang tidak mungkin.” ia mencoba menyanggah dengan ingatannya yang cukup tajam.

Tiga hari yang lalu dokter John memberinya kabar jika kesehatan ayahnya semakin membaik, jadi ia tak mungkin khawatir akan kondisi ayahnya. Dokter John adalah dokter keluarga mereka. Charlene telah mengenalnya sejak 28 tahun yang lalu.

...

Mendekati pukul dua dini hari matanya terpejam, namun angannya melayang hati tak tenang. Sejak ditinggal ayahnya kembali ke Norwegia, ia tak pernah merasa segelisah itu. Rumah sederhana yang sengaja Charlene sewa sejak ia meninggalkan rumah dinas ayahnya terasa bagaikan surga. Meskipun sudah dua tahun ini ia bertahan seorang diri, tapi tak menjadi masalah besar baginya. Jelas, karena di rumah itu ia tak perlu khawatir akan bertemu dengan ibu dan saudara tirinya, dan itu cukup untuk membuat hatinya merasa lega. Ponsel sengaja ia letakkan dibawah lampu duduk, diatas meja kerjanya. Sepertinya ia sengaja menjauhkan dari jangkauan tangannya, maksdunya ialah supaya ia bisa tidur nyenyak malam itu, karena beberapa hari ini ia benar-benar disibukkan dengan urusan kedutaan.

Brug brug brug terdengar suara kaki melaju menuju mezzanine, rupanya daun telinganya menangkap dengan baik suara telepon kuno yang berdering, tidak seperti sore tadi. Ia yakin bahwa itu panggilan dari ayahnya.

“Charlene, ayah meninggalkan pesan untukmu sebelum ayahmu dibawa ke rumah sakit, tugasmu sebagai volunter sudah hampir selesai, ia meminta mu untuk segera pulang, karena sekarang ayahmu sakit.” suara Rebeca tidak hanya masuk menuju kedua telinganya, namun juga sampai ke jantung dan hatinya.

Ia seolah tak terima bahwa ayahnya harus sakit lagi, ia menganggap bahwa sejak mereka menikah Rebeca tak pandai mengurusi dirinya bahkan ayahnya. Ia juga menganggap bahwa ayahnya sakit lagi karena wanita berambut pendek itu bagai penyihir kejam yang tak memperlakukan dengan baik ayahnya. Padahal di awal perkenalan Rebeca terlihat amat manis dan biak hati.

“Kenapa ayahku bisa sakit lagi? Atau ayahku sakit lantaran ulah liar mu? Dengan laki-laki mana lagi kau tega mengkhianati ayah ku?” tanyanya seakan mencoba menebak.

“Kau tak perlu berbicara seperti itu Charlene!” sahur Rebeca dengan nada tinggi.

“Oh ya, seorang penyihir memang tak pernah becus merawat ayahku, mengapa dulu kau begitu memaksa untuk menikah dengan ayah ku? Dan sekarang kau sama sekali tak pandai merawatnya! Bahkan kau lebih mementingkan menemani putri kesayangan mu itu saat ayahku sakit di sini, dua tahun yang lalu.” Charlene mengungkapkan kekesalannya pada Rebeca.

“Sudah, kau tak perlu berdebat denganku saat ini, lusa segera urus penerbangan untuk pulang, ayahmu sangat merindukanmu.” sahut Rebeca mencoba meredam amarah putri tirinya sekaligus mengakhiri percakapan singkat yang menyulut kesal itu.

Perlahan ia berjalan kembali menuju kamarnya yang pengap, penuh dengan barang tak berguna yang berserakan. Lampu yang redup pas menjadi teman kala hatinya sedang tidak begitu baik. Perasaannya kalut, sebenarnya ia juga sangat merindukan ayahnya terlebih hari ini ia mendengar kabar buruk tentang kesehatannya. Ia pernah berjanji akan merawat ayahnya ketika sakit. Baginya tak ada seorangpun yang ia miliki saat ini kecuali ayahnya, laki-laki tua berbadan tegap, berhidung mancung. Rasanya bercampur aduk, sedih, kesal, marah, tapi ia tak bisa apa apa. Kota sudah tak lagi ramai, orang-orang berdiam diri di rumah masing-masing, semua takut dengan kematian yang disebabkan oleh virus yang beberapa waktu ini cukup membuat dunia tidak stabil. Semua serba terbatas, termasuk moda transportasi.

...

Teh hangat tanpa pemanis, ditemani roti panggang berlapis telur berhasil ia racik dengan sempurna. Charlene memang pandai dalam hal memasak, sama persis dengan mendiang ibunya yang selalu menyajikan dengan lezat makanan kesukaannya setiap hari. Semua makanan yang ia buat selalu enak dan pas, tak pernah kekurangan atau kelebihan rasa. Berbeda dengan teh dan roti panggang yang sudah ia buat dengan sempuna, pagi ini mata Charlene nampak sembab. Dalam pikirannya, bukan hanya penyakit ayahnya saja yang membuat rasa cemas, namun keadaan dunia saat itu yang seolah cukup membuatnya membanyangkan perihal kematian. Sangat buruk, beberapa penerbangan domestik terpaksa dihentikan, terlebih ke manca negara. Sebenarnya sejak semalam ia berusaha mencari tahu tentang keadaan dunia secara umum, termasuk ia pun mencoba melihat jadwal penerbangan menuju Norwegia.

Nampaknya hari ini dunia sudah benar benar lumpuh, tak ada satupun pesawat yang terjadwal menuju negaranya, bahkan semua maskapai tidak bisa memastikan akan sampai kapan mereka mengistirahatkan pesawat-pesawat mereka. Barangkali pilot dan awak kabin mungkin memang kehilangan pekerjaan mereka, namun bagaimana jika hal yang lebih buruk menimpa Charlene? Bagaimana jika ia tak bisa merawat ayahnya yang sakit? Bahkan yang lebih tragis jika ayahnya meninggal sebelum ia pulang. Penurunan fungsi paru-paru tentu bukanlah penyakit yang ringan. Sejak pertama kali mengetahui penyakit ayahnya, ia tak pernah bermain-main dalam menjaga kesehatan ayahnya. Ia memastikan segala hal yang terbaik untuk ayahnya, mulai dari memastikan makanan yang dikonsumsi, rujukan dokter terbaik, rujukan rumah sakit terbaik hingga memastikan semua obat-obatan adalah obat termanjur. Hanya satu yang tak bisa ia pastikan, keberadaannya di samping ayahnya untuk saat ini.

“Bisakah kau membantuku mencari alat transportasi untukku pulang? Ayahku sedang sakit, dan kali ini aku ingin pulang” katanya di telepon pada seorang laki-laki bernama Jacob.

Jacob adalah teman masa kecilnya yang pertama kali memberinya ciuman di bibir pada ulang tahunnya yang ke tujuh. Sampai sekarang keluaraga mereka masih berhubungan dengan baik, Ibu Jacob adalah sahabat terbaik mendiang Ibu Charlene.

“Sejujurnya aku sangat ingin membantu mu, tapi disituasi seperti ini bagaimana bisa Charlene? Kemarin aku mendengar siaran langsung di televisi lokal bahwa di sini akan diadakan pemblokiran transportasi secara besar-besaran, dan aku yakin di situ pun begitu. Bukankah kau cukup pintar dan mengetahui betapa berbahayanya dunia saat ini? virus itu benar-benar membuat segalanya berhenti, kau tak bisa pulang hingga semuanya kembali pulih.” ujar Jacob mencoba menjelaskan tentang keadaan yang sedang terjadi, meski keadaan ini sulit diterima oleh Charlene untuk saat ini.

“Ayolah ini demi ayahku, aku yakin seorang kapten seperti kau pasti mengetahui tentang informasi transportasi yang melintasi antar negara, kali ini aku mohon pada mu Jacob.” ia merayu meminta agar teman masa kecilnya itu bisa membantunya.

“Sungguh sekarang ini sudah tak bisa, dan kenapa kau tak memintaku sejak seminggu yang lalu? Penerbangan terakhir beroprasi di hari Sabtu minggu lalu, sekarang sudah terlambat Charlene, kau tak mungkin menantang kematian.” tegas Jacob dengan nada sumbang diakhir kalimatnya, seolah ia merasa pasrah dengan keadaan saat ini.

“Lalu bagaimana dengan ayahku?” tanyanya cemas. “kau tau ibuku sudah tidak ada dan kali ini aku tak ingin melewatkan kesempatan untukku pulang merawat ayahku, ia satu-satunya orang yang ku punya. Dan satu hal yang aku khawatirkan, aku takut Rebeca tak mengurusi ayahku dengan baik.” sambungnya pelan, mengungkapkan isi hatinya diiringi isak tangis pertanda ia sangat berharap bisa berada di samping ayahnya.

“Charlene, tenanglah disitu. Sudah lebih dari dua puluh tahun kita berteman, bahkan berkat persahabatan ibu kita, kini ayahku dan ayahmu pun juga bersahabat dengan baik, keluaraga mu adalah keluargaku juga. Malam ini aku akan pergi mengunjungi rumah sakit bersama ayah dan ibu ku.  Aku akan memastikan bahwa setiap hari ayahmu akan ada yang menjaga, hingga pulih kembali.” kata Jacob mencoba menenangkan Charlene, karena ia tau bahwa saat ini Charlene sedang bersedih.

Sebenarnya Jacob menyukai Charlene sejak ia memberikan ciuam di ulang tahun Charlene yang ke tujuh itu. Dan sejak saat itu pula ia berjanji untuk menyayangi dan melindungi Charlene.

“Benarkah begitu, Jacob? Aku sangat berharap pada kebaiakan mu serta keluargamu.” tanya Charlene memastikan.

“Iya, untuk mu aku akan memastikan jika ayahmu akan segera pulih”.

Percakapan mereka tak banyak memberikan ruang lega bagi Charlene sebab ia terancam tidak bisa pulang, meski pada akhirnya ia meletakkan harapannya pada kebaikan hati Jacob dan keluarganya.  

...

Meski sudah terbiasa memakan nasi, namun persediaan roti dan oat di gudang sudah semakin menipis. Tipisnya sama seperti harapannya untuk bisa pulang dan merawat ayahnya, sama-sama tipis dan bahkan kini terasa pupus. Diam-diam ia berjalan menuju lorong mendekati sebuah rak sepatu. Charlene mengambil sepatu kesayangannya, itu adalah sepatu yang ayahnya belikan sebelum akhirnya kembali ke negaranya.

Ayahnya selalu bilang, dengan sepatu ia bisa menapaki jalur-jalur perbatasan, menjelajahi seluruh negara demi negara, bahkan pergi kemanapun yang ia mau. Seorang diplomat harus bisa berkeliling sambil menyapa dengan santun seluruh dunia. Setiap kali mendatangi suatu tempat maka ia harus mendatangkan kedamaian, bukan perselisihan bahkan peperangan. Itu yang selama ini Charlene pelajari dari sosok ayahnya yang hebat itu. Sebenarnya ini baru negara ke tujuh belas yang dia datangi sekaligus negara ke tiga yang ia tinggali lama. Ketika bertemu dengan orang-orang baru di tempat baru maka ia harus menjadi air jernih yang menyejukkan, bukan badai yang membahayakan. Ayahnya berpesan jika ia harus mendatangkan manfaat serta kedamaian dimanapun ia berada, bukan perkara yang membuat petaka. Dengan begitu, Charlene sudah berhasil menaklukkan hati setiap orang dan tempat baru yang ia jumpai ketika ia singgah di berbagai negara. Ia membawa ketenangan hingga ia mampu melihat kedamaian pada setiap hal yang ia jumpai, itu membuatnya makin berambisi untuk menghadirkan kedamaian-kedamaian di seluruh dunia. Jadi keinginan untuknya berkeliling dunia dengan membawa misi perdamaian terbilang sangatlah kuat.

“Bagaimana bisa ayah memberiku sepatu untuk berkeliling dunia jika saat ini aku tak bisa menggunakannya? Bahkan untuk pergi membeli persediaan gandum dan oat pun aku takut. Apakah ayah telah berbohong padaku tentang sepatu dan dunia?” ungkap Charlene lirih sambil memeluk erat sepatu berwarna abu-abu itu.

“Ayah, beritahu aku soal dunia saat ini! kenapa semua orang hanya berdiam dirumah? Apakah mereka damai ketika berada di rumah? Apakah perdana mentri atau presiden tak memberitahu mu soal rencana mereka? Bahkan sedikit saja rahasia mu? Kenapa ayah dulu mau menikahi dengan Rebeca? Wanita yang membuatku tak betah berada di rumah hingga sekarang aku bertahan disini sedang ayah sedang sakit dan merindukanku.” lanjutnya lirih, air matanya berderai membanjiri pipi, lututnya sampai tak kuat menopang tubuhnya hingga ia bersimpuh seolah pasrah dengan keadaannya.

 Selain berharap pada kebaikan hati dari Jacob dan keluarganya, kini benar-benar tak ada yang bisa ia lakukan, jiwa dan raganya seperti terisolasi. Ia hanya bisa berpasrah seraya berdoa kepada Tuhan dan meminta agar ayahnya pulih kembali, begitu pula dengan dunia, yang semoga lekas membaik.



Tanah Jawa, Yenny Puspitawati


Komentar

Postingan Populer