“Keadilan yang Keblenger”


 Potensi akal

Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk saling berinteraksi satu sama lain. Manusia juga diberikan potensi agar dapat beradaptasi dengan kondisi geografis maupun kondisi sosial-kemasyarakatan. Misalnya saja manusia diberikan potensi akal, akal merupakan alat berfikir yang dapat mencerna setiap informasi dari realitas. Potensi ini tidak dimiliki oleh makhluk lain secara maksimal. Dibuktikan manusia dapat membangun peradaban dalam kurun waktu yang begitu cepat. Dalam proses membangun sebuah peradaban, manusia menciptakan sebuah konsep sosial berkeadilan, agar kehidupan manusia tentram dan aman.

Akal manusia tentu berbeda dengan akal hewan. Akal manusia diberikan anugerah untuk mengkaji sumber data informasi secara rasional. Sedangkan binatang tidak dapat mengkaji sumber data secara rasional dan sistematis. Maka dari itu, akal manusia sangat sempurna dibandingkan dengan akal-akal yang lainnya. Hanya saja manusia sering kali lupa diri, mereka sering menggunakan akal untuk hal-hal yang tidak baik. Melakukan kerusakan terhadap lingkungan, seperti menebang pohon secara besar-besaran bahkan menjarah uang rakyat tanpa merasa berasalah. Tetapi banyak juga akal baik yang memakmurkan lingkungan, hewan dan manusia itu sendiri. Seperti menanam pohon untuk menjaga kelestarian alam dan mengambil sumber daya alam sesuai kebutuhan, agar ekosistem lingkungan tetap terjaga. Yah begitulah manusia dengan segala kelebihan akalnya.

Manusia dan adil

Manusia telah diajarkan tentang banyak hal dalam hidup nya. Dia diajarkan menghormati orang yang lebih tua, menghormati saudara dan teman-temannya. Karena bentuk penghormatan ialah salah satu ketulusan kita dalam beradab atau beretika. Seperti yang dikatakan oleh filsuf yunani, aristoteles "manusia ialah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya ( zoon logikon ), atau manusia juga disebut sebagai binatang politik ( zoon politicon )”. Dalam artian manusia dalam bersosialisasi dengan realitas selalu menggunakan akal sebagai penimbang dalam berargumentasi pada sesama, manusia juga menggunakan akalnya untuk merancang suatu kegiatan dalam suatu kelompok atau komunitas.

Dalam perkembangan kelompok sosial juga melahirkan seni berkeadilan. Aristoteles berkata “keadilan ialah memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya”. Dalam hal ini, adil merupakan hal paling mendasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Karena adil tidak memihak pada salah satu pihak, adil merupakan kejujuran murni dari suatu kebenaran pada hukum. Oleh karena itu aristoteles membagi keadilan menjadi dua yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif merupakan keadilan yang diberikan kepada pembuat undang-undang, agar dapat ditentukan mana yang terbaik dari setiap hak dan penghargaan kepada anggota masyarakat yang pada prinsipya didukung secara porporsional. Kemudian keadilan korektif ialah keadilan yang menjamin, kebebasan dan perlindungan melawan serangan-serangan ilegal. Manusia hari ini, walaupun telah diberikan akal yang cerdas dalam mengola data informasi, bahkan telah banyak menciptakan kemajuan diranah teknologi maupun ilmu kepemerintahan dan lain sebagainya, akan tetapi, manusia masih saja merasa kurang puas dengan segala hal yang telah dimilikinya. Maka dari itu manusia ingin melakukan apa saja, untuk menguji sampai mana batas kemampuan nya, bahkan menerobos moral sosial dan bertarung dengan keadilan yang selalu diaggap benar menurut presepsi nya. Mengutip perkataan Nietzsche bahwasanya manusia sebagai binatang kekurangan (a shortage animal) yang kemudian meningkat menjadi binatang yang tidak pernah selesai atau tidak pernah puss ( das rucht festgestelte tier ). Sehingga manusia akan terus mencari dan mengambil apapun yang bisa membuat dirinya puas. Misalnya seorang kakek merebut es krim milik anak kecil yang berpapasan dengannya di depan pertokoan. Ada bentuk ketidakpuasan yang dimiliki seorang kakek melihat anak kecil memegang es krim, dan dia juga menginginkan es krim tersebut untuk memuaskan keinginannya. Logikanya kakek tersebut tidak mungkin akan mengambil es krim yang dimiliki oleh anak tersebut, tetapi dia tetap melakukannya untuk memuaskan keinginan, begitu pula  orang-orang yang memegang kekuasaan, banyak hak rakyat yang diambil secara sengaja dengan dalil kebermanfaatan bersama tetapi untuk kepentingan pribadi semata dan memuaskan diri sendiri. Ketidakadilan sering terjadi disekitar kita, bahkan kita sebagai manusia barangkali juga sering tidak adil pada diri sendiri. Sungguh miris dan di luar logika.

Keadilan yang keblenger

Manusia sebagaimana dikatakan Nietzsche ialah binatang kekurangan, tidak pernah puas akan suatu hal yang telah dimiliki. Dia akan terus mencari sesuatu yang sangat diinginkan, sampai dia mampu untuk mendapatkan yang diinginkan apapun caranya. Misalkan kita berkaca pada bangsa yang besar yaitu bangsa Indonesia. Di Negara ini keadilan masih terlihat seperti mitos, kita bisa lihat setiap menjelang pemilu, para politisi selalu berbicara tentang harapan, kemanusiaan, ekonomi, lingkungan, dan bahkan soal hukum. Seakan-akan mereka lebih paham soal kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang lebih parahnya lagi mereka mengkalim diri nya paling manusia diatara yang lain. Di Negara ini hampir setiap hari keadilan dibicarakan, dari masalah reformasi dikorupsi, tragedi penyiraman air keras kepada Novel Baswedan, kasus korupsi yang tidak ada habisnya, RUU HIP, kebijakan yang lamban dalam menangani virus corona, bahkan presiden pemangku keadilan tertinggi bagi seluruh rakyat Indonesia meminta agar RUU Cipta kerja atau omnibuslaw segera disahkan. Padahal rakyat sudah sering kali berteriak sampai ada korban jiwa dalam setiap aksi, tetapi keadilan masih saja mitos dinegeri ini. Keadilan seakan keblenger, tidak tau jalan kebenaran. Bahkan jika keadilan itu berkaca, dia akan menemukan banyak gambar dari setiap kepentingan. Begitulah keadaaan negeri yang merasa paling adil sehingga keadilan menjadi keblenger.

Apakah keadilan yang dimaksud ialah hak rakyat untuk dirampas? Misalkan dirampasnya hak terhadap mutu pendidikan, kita sering kali melihat kebijakan mendikbud  hari ini tidak sesuai dengan permasalahan akar rumpun, mendikbud belum bisa memahami betul cara mengelola lembaga pendidikan dari Sabang hingga Merauke. Dibuktikan dengan program organisasi penggerak yang memakai banyak anggaran tetapi tidak tepat sasaran. Dari situ kita paham, bahwasanya amanat dalam mencerdasakan kehidupan bangsa tidak terealisasi dengan baik dan benar.

Keadilan memang sangat didambahkan oleh setiap manusia, oleh karena itu manusia meletakkan keadilan sebagai point tertinggi dalam penyelesaian sebuah permasalahan, persamaan hak, kebebasan, keamanan dan kesejahteraan. Dari hal sederhana kita dapat belajar bahwa keadilan itu milik siapa saja asalkan dengan prinsip sadar moral dan hukum yang berlaku. Oleh sebab itu manusia sudah sepantasnya melakukan kritik konstruktif secara sistematis dan continue terhadap setiap individu bahkan instansi yang melakukan partisipasi atau diberi mandat sebagai penentu keadilan dalam suatu sosial-kemasyarakatan.

 

Tanah Jawa, Zulhaji Ismail


Komentar

Postingan Populer