Anyaman Bambu di Balik Kertas
Selalu, pukul 05.30
suara khas air mendidih dari teko berbalut arang menjadi alarm di telinga pak
Darmaji. Tandanya, parang di sela-sela bambu belakang rumah minta diasah. Aroma
kopi bubuk yang diseduh dengan air mendidih yang dimasak di tungku memang
berbeda. Wangi, sedap khas biji kopi yang disangrai dengan kematangan sempurna.
Hidung Ranggajati tak bisa ditipu, seketika ia terbangun dari tidurnya setelah
semalaman suntuk ia pergi menikmati pertunjukan tari kuda kepang di desa
sebelah.
Suara seruputan kopi ...“Mantap Mbok.” Kata Ranggajati
“Duh
aduh cah bagus, bapak mu belum minum kopinya le,” sahut mbok Paijah. “Anak kok
ndak ada sopan-sopannya, kerjannya cuma berburu, orang tua bekerja ndak pernah
mau membantu, mau jadi apa kamu le.” Lanjut mbok Paijah dengan raut kesal.
“Sudah
lah Bu, percumah saja kita nasihati setiap pagi. La wong anak kita memang ndableg kok, lebih baik antarkan saja
kesini kopi dan pisang rebusnya, sebentar lagi Bapak kan sudah mau berangkat to
Bu.” sambung pak Darmaji dari belakang rumah sambil mengasah parang,
kepunyaannya.
Dengan
pakaian yang masih lusuh, mbok Paijah membawakan secangkir kopi hitam di tangan
kanannya, sedang tangan kirinya menyangga sepiring pisang rebus. Yang tidak
pernah luput dari mbok Paijah ialah senyum manis yang terpancar dari wajah
berhias sedikit goresan arang di pelipis, beserta rambut panjang yang ia gelung
rapi.
“Monggo Pak, jangan lupa kulit pisangnya
di kumpulkan di samping piring saja, jangan dibuang sembarangan!” kata mbok
Paijah dengan penuh perhatian.
Ya,
kegiatan dan percakapan yang selalu sama di setiap paginya. Maklum, keadaan
ekonomi dan lokasi tempat tinggal membuat Ranggajati tak bisa mengeyam
pendidikan seperti kebanyakan orang, ia hanya pemuda desa tamatan sekolah
dasar. Bahkan keterampilan yang kurang menjadikan ia tidak mudah bergaul dengan
teman-temannya. Jadi, pak Darmaji sudah tidak heran lagi dengan absennya sopan
santun dalam diri anak laki-lakinya itu.
“Mbok,
bapak berangkat dulu. Kalau nanti nyusul, tolong bawakan sarung dan peci
bapak.” Teriak pak Darmaji.
Pak
Darmaji memang petani yang rajin. Beruntung ia mempunyai istri sebaik mbok
Paijah, setiap hari mbok Paijah selalu mengantarkan makan siang dan sarung
untuk suaminya. Ia juga tak segan membantu suaminya mencari bambu. Setelah
terkumpul, mereka memotong hingga menjadi tipis bambu-bambu itu, kemudian
dengan tangan-tangan terampil mereka menganyam bambu-bambu tersebut dan
dijadikannya berbagai macam anyaman. Biasanya ada tengkulak yang mengumpulkan
anyaman mereka untuk kemudian dijual di pasar kota.
Berbeda
dengan orang tuanya, keseharian Ranggajati ialah berburu hewan di hutan. Anak
panah Ranggajati terkenal tak pernah lepas sasaran. Benar, kali ini anak
panahnya menembus tepat di leher seekor rusa jantan. Sesegera mungkin ia
menghampiri rusa yang sudah mati tergeletak. Dengan lihai ia memotong-motong
tubuh rusa, dan seperti biasa ia menyimpan baik-baik kepala rusa hasil
panahannya tadi. Terhitung, sudah ada tiga belas kepala rusa yang berhasil ia
kumpulkan di gubug kecil samping rumah. Rencananya, jika sudah banyak kepala
rusa itu akan ia jual kepada orang kaya supaya ia bisa mendapatkan uang.
Sebenarnya ia sangat sedih, melihat setiap hari orang tuanya masih harus
bersusah payah mencari bambu dan membuat anyaman untuk kehidupan sehari-hari
mereka. Tapi mau bagaimana lagi, tak ada hal yang bisa Ranggajati lakukan
selain memanah.
Rumah
tua pak Darmaji tak mampu menahan hembusan angin malam yang bingas. Perlahan,
terdengar rintik hujan mulai beratuhan.
“Bu,
ambilkan bapak minyak urut di dekat jendela Bu. Kaki bapak sakit sekali.” Ucap
pak Darmaji.
“Lho,
bapak asam uratnya kambuh lagi to?” tanya mbok Paijah sambil datang membawa
minyak urut.
Meski
sudah renta, keakraban mereka tak kalah dengan pasangan yang masih muda. Dengan
penuh kelembutan, mbok Paijah mengurut kaki pak Darmaji hingga sakitnya sedikit
demi sedikit memudar. Di tengah hujan yang lebat, mereka sematkan membicarakan
Ranggajati dan anyaman bambu. Pak Darmaji sangat berharap anak laki-lakinya
dapat meneruskan kegiatannya mengayam. Ya, anyaman mereka cukup bagus dan rapi
sehingga banyak digemari orang.
...
Tepat
sebelas bulan setelah pak Darmaji meninggal, kini tinggal mbok Paijah dan
Ranggajati yang hidup didalam ruah sudah reot beratapkan alang-alang. Sejak
suaminya meninggal, mbok Paijah tak lagi membuat anyaman. Ia tak mungkin mencari
dan memotong bambu sendiri untuk dijakdikan anyaman. Mengandalkan Ranggajati
pun nampaknya tak mungkin. Bertahan tanpa anyaman bambu membuat mereka tak
punya pemasukan. Kepala rusa yang dikumpulkan Ranggajati sudah habis dijual
untuk keperluan makan sehari-hari. Jika hendak berburu pun, belum tentu ia
dapat, hewan sudah mulai langka akibat banyak dijarah oleh manusia-manusia
serakah. Hendak bekerja di kota pun tak mungkin, karena taka ada keahlian dan
ijazah tinggi yang ia miliki. Beban yang dirasakan Mbok Paijah membuatnya
sakit-sakitan. Lama-lama Ranggajati tak tega melihat keadaan ibunya,ia pun
bingung lantaran tak ada yang bisa ia lakukan untuk keluar dari keadaan mereka
sekarang. Tak ada jalan lain selain ia harus berusaha lebih giat lagi, sebagai
satu-satunya laki-laki dan pemuda yang masih mempunyai tenaga kuat.
Pada
suatu pagi akhirnya Ranggajati memutuskan untuk pergi ke hutan mencari bambu
untuk dibawa pulang, dalam hatinya ia berniat untuk mencoba membuat anyaman,
seperti orang tuanya dulu, ya ini demi memperbaiki kehidupan mereka.
“Mbok,
sore nanti ajarai aku menganyam. Sekarang Jati pamit mau berangkat ke hutan
mencari bambu untuk kita anyam.” Pamit Ranggajati pada ibunya.
“Kamu
benar mau menganyam le? Apa kamu tidak berburu saja?” tanya mbok Paijah heran.
“Tidak
mbok, Jati ingin belajar menganyam supaya kita bisa bertahan hidup.”
Bermodalkan
parang milik pak Darmaji, beberapa bambu berhasil ia tebang. Ia tak memotong
dan menganyam bambu di hutan seperti orang tuanya dulu karena Ranggajati belum
bisa membuat anyaman. Untuk itulah, dengan penuh harap, ia pikul beberapa pohon
bambu untuk dipotong kemudian dibuat anyaman di rumah. Kali ini ia benar-benar
ingin belajar menganyam dengan ibunya.
Sesampainya
di rumah, ia tak mendapati kehangatan apapun. Yang ia dapati justru perempuan
tua yang terbujur kaku diatas papan dengan selembar kertas yang menutupi dada
sebelah kirinya. Tangis Ranggajati pecah sejadi-jadinya, lantaran ia sadar jika
ia sudah tak memiliki siapapun. Yang lebih menyayat hatinya ialah, ia belum
sempat diajari menganyam oleh ibunya, mbok Paijah.
Selembar
kertas yang ia dapati kala itu nampaknya merupakan satu-satunya peninggalan
berharga. Memang bukan surat wasiat, ataupun surat berharga lainya, melainkan
secarik surat yang didalamnya tertulis dengan rapi cara membuat anyaman bambu.
Bagi Ranggajati, sungguh itu lebih berharga ketimbang apapun saat ini. Rasa
bersalah karena dari dulu ia enggan belajar menganyam membuatnya kali ini
belajar dengan bersungguh-sungguh, hingga tangannya mulai terampil menganyam.
Sebenarnya, menganyam bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, tetapi mengayam
merupakan hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Tak butuh banyak modal bagi
penganyam, cukuplah mereka bermodalkan ketenangan, keterampilan, ketekunan
serta suasana hati yang gembira untuk menghasilkan anyaman yang rapi dan bagus.
Hari demi hari ia lalui dengan menganyam. Ternyata tangannya lebih terampil
ketimbang pak Darmaji dan mbok Paijah. Terbukti, dengan datangnya pak Sarto
setiap Sabtu untuk mengambil anyaman dari rumah Ranggajati menandakan bahwa
anyamannya cukup digemari. Perlahan ia kembali bangkit dari keadaan sebelumnya.
Ia menyadari bahwa dalam menjalani hidup, manusia tak butuh banyak syarat.
Cukup dengan ketenangan, keterampilan, ketekunan dan suasana hati yang gembira
rupanya mampu membuat manusia bertahan hidup bahkan mampu mengangkat manusia
dari keterpurukan.
Tanah Jawa, Yenny Puspitawati
Komentar
Posting Komentar